Minggu, Maret 01, 2009

Pandangan dari Atas

Hari Minggu, ibu bangun pagi-pagi dan mempersiapkan anak-anak untuk pergi ke gereja. Ayah duduk di ruang tamu membaca surat kabar. Sekali-sekali ia memandangi salju yang turun. di luar.
"Mengapa tidak ikut kami kali ini?" tanya ibu. Ayah tidak menoleh dari surat kabarnya. Mereka sudah pernah membahasnya dan tak ada yang berubah.
"Kau sudah tahu mengapa," jawabnya keras. Tetapi, di dalam hati ia lanjutkan dengan, "Lagi pula, Tuhan yang sungguh-sungguh besar takkan peduli pada manusia biasa."
Ayah merenungkan kembali perbantahannya. "Jika Tuhan sedemikian sempurna dan besar, mengapa Ia mau mempedulikan kita? Jika Tuhan sedemikian berkuasa, mengapa Ia berikan AnakNya menjadi manusia? Mengapa Ia mau merendahkan DiriNya sedemikian rupa untuk menolong kita, jika Tuhan memang benar-benar besar."
Di dalam rumah tak terdengar suara selain bunyi api meretih di perapian membakar kayu. Dari sudut lain rumah terdengar bunyi gedebuk yang aneh.
Ayah meletakkan surat kabarnya dan berjalan menuju ruang depan. Di luar jendela berkumpul sekelompok burung. Dalam kebingungan dan oleh rasa takut, mereka telah terbang menabrak kaca jendela dan jatuh ke tanah. Mereka berkelompok di atas salju menanti apa yang selanjutnya harus dilakukan. Ayah kasihan melihat burung-burung itu. Pikirnya, "Burung- burung itu bisa tinggal di dalam gudang. Mereka akan hangat di sana." Jadi, ia ke luar dan membuka pintu gudang. Ia menunggu dalam cuaca dingin, tetapi burung-burung itu diam saja.
"Akan kugiring mereka ke pintu gudang," pikirnya. Tetapi, ketika ia berusaha melakukannya, burung- burung itu terbang berpencar. Hanya bila ia diam, burung-burung itu kembali ke tempat mereka semula di atas salju.
Masih ada satu cara lagi yang ia ingin coba. Ia ke rumah dan mengambil roti. Dengan hati-hati, roti itu disobek-sobeknya dan dari potongannya dibuatnya jalur menuju pintu gudang. Tetapi, burung-burung itu malah semakin rapat berkelompok, tidak menghiraukan hadiah kehidupan yang ditawarkan.
Dengan bingung ayah memandang burung-burung itu. Apa yang bisa ia lakukan untuk menyelamatkan mereka. Ia berkata dalam hati, "Kalau saja aku bisa menjadi seekor burung dan menuntun mereka ke tempat yang aman, mereka tentu tidak akan mati."
Ia tertegun dan merenung. Akhirnya, ia mengerti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar